Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Menangis Ketika Mengingat Kematian Dan Kejadian Setelahnya (Serial akhlak 7)

ã Anas bin Malik RA meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau memasuki kamar Ibrahim yang sedang berada diambang pintu kematian. Kemudian kedua mata beliau berucucuran air mata. Abdurrahman bin Auf dengan heran bertanya kepadanya, “Engkau juga (bisa) menangis wahai Rasulullah?” Beliau SAW menjawab, “Wahai Ibnu Auf! Sesungguhnya (tangisan) ini adalah air mata rahmah. Ketahuilah! Sesungguhnya kedua mata menitikkan air mata, hati mengalami kesedihan, kami tidak berkata-kata melainkan apa-apa yang diridhai Rabb kami, dan kami bersedih dengan kepergian Ibrahim.[1]

ã Adapun redaksi hadits yang terdapat di sunan Ibnu Majah berbunyi, “Kalaulah kematian itu bukan janji yang benar, waktu yang telah ditetapkan, dan orang-orang yang belakangan akan menyusul orang-orang yang terdahulu, niscaya kami akan lebih banyak bersedih dari pada sekarang, sesungguhnya kami berduka cita atas kepergianmu.[2]

ã Ibnu Umar RA menceritakan bahwa pada suatu waktu Rasulullah SAW beserta Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Mas’ud RA menjenguk Sa’ad bin Ubadah RA yang terbaring sakit. Ketika melihat Sa’ad beliau SAW menangis, dan tatkala para sahabat melihat beliau menangis mereka pun ikut menangis. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Dengarkanlah! Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa (si mayit) gara-gara air mata yang mengalirkan (menangis), dan hati yang bersedih, akan tetapi Allah menyiksa atau merahmati dengan sebab ini,” beliau menunjuk lidahnya.[3]

ã Usamah bin Zaid mengisahkan bahwa tatkala Rasulullah SAW didatangkan kepada beliau cucunya yang sedang menunggu ajal, beliau pun menangis melihat sang cucu. Melihat hal itu Sa’ad pun bertanya, “Apa yang engkau lakukan wahai Rasulullah?” Beliau SAW menjawab, “(Air mata) Ini adalah rahmat yang Allah limpahkan di hati para hamba-Nya, dan rahmat Allah hanya diperuntukkan hamba-hamba-Nya yang suka menyayangi.[4]

ã Anas RA berkisah, “Aku menyaksikan prosesi pemakaman putri Rasulullah SAW, dan beliau duduk di samping kuburan. Aku melihat air mata beliau bercucuran. Beliau berkata, “Adakah di antara kalian seorang yang tidak melakukan jima’ (menggauli istri atau sahayanya) semalam?” Abu Thalhah pun menjawab, “Saya wahai Rasulullah!” Beliau pun berkata, “Turunlah!” Dan turunlah Abu Thalhah ke dalam liang lahat.”[5]

ã Abu Hurairah RA berkisah, “Pada suatu hari Rasulullah SAW berziarah ke kubur ibunya dan ia menangis, dan orang-orang di sekeliling beliau juga ikut menangis. Kemudian berkata, “Aku telah meminta izin kepada Rabbku agar aku memintakan ampun untuk ibuku, namun Dia tidak mengizinkan aku! Berziarahlah ke kuburan karena yang demikian mengingatkan akan kematian.[6]

ã Barrâ` bin ‘Azib RA bercerita, “Suatu ketika kami mengantarkan jenazah seseorang bersama Rasulullah SAW, kemudian beliau duduk di bibir liang kubur dan menangis hingga tanah di bawah beliau basah oleh air mata. Beliau berkata, “Wahai saudara-saudaraku! Persiapkanlah diri kalian untuk menghadapi saat-saat seperti ini (pada saat jenazah dimasukkan di dalam kuburan).[7]

ã Asma’ binti Umais RA (istri Ja’far) menuturkan, “Suatu ketika Rasulullah SAW memasuki rumahku, kemudian memanggil anak-anak Ja’far (anak kami), lalu menciumi mereka satu persatu dan air mata beliau pun bercucuran! Aku bertanya kepadanya, “Wahai Rasulullah! Apakah berita tentang Ja’far telah sampai kepadamu?” Beliau menjawab, “Benar! Pada hari ini ia mati syahid.” Mendengar berita itu aku dan keluargaku menangis. Kemudian Rasulullah berlalu meninggalkan kami. Beliau SAW bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far! Mereka sekarang lagi disibukkan oleh kematian Ja’far.

ã Aisyah RA bercerita, “Tatkala berita kematian Ja’far sampai kepada kami aku melihat kesedihan di wajah Rasulullah SAW.”

ã Adz-Dzahabi RAH berkata ketika menulis biografi Ja’far, “Adalah Rasulullah SAW begitu gembira setiap kali Ja’far menemuinya, dan demi Allah beliau sangat bersedih dengan kepergian Ja’far.”

ã Jabir RA berkisah, “Tatkala ayahku mati syahid di medan Uhud. Aku menyingkap kain yang menutupi wajahnya dan aku pun menangis. Para sahabat melarangku menangis, sedangkan beliau SAW tidak melarangku, dan bibiku juga menangisi kepergian ayahku.” Rasulullah SAW bersabda, “Meskipun kamu tangisi dia ataupun tidak kamu tangisi! Para malaikat senantiasa menaunginya dengan sayap-sayap mereka sampai kalian memasukkannya ke dalam liang lahat.[8]

ã Hani` Maula Utsman menceritakan bahwasanya Utsman jika berhenti di suatu kuburan ia menangis sehigga jenggotnya basah kuyup. Ada seseorang yang berkata kepadanya, “Tatkala mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, namun engkau menangis karena melihat kuburan?” Utsman menjawab bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Kuburan adalah persinggahan awal menuju akhirat. Jika seseorang selamat di persinggahan ini maka urusan selanjutnya akan terasa mudah baginya. Namun jika tidak selamat maka urusan selanjutnya akan sangat sulit baginya.” Rasulullah melanjutkan, “Aku tidak melihat satu pun pemandangan yang paling mengerikan, melainkan pemandangan di kuburan.[9]

ã Ibnu Abi Mulaikah berkata bahwa ia dikabari oleh Dzakwan Abu ‘Amr bahwa suatu ketika Ibnu Abbas RA meminta izin bertemu dengan ‘Aisyah yang sedang sakaratul maut. Ibnu Abbas berkata, “Aku mendatanginya, saat itu keponakannya yaitu Abdullah bin Abdurrahman memangku kepala ‘Aisyah. Aku berkata kepadanya, ‘Ibnu Abbas meminta izin hendak menemui anda!’ ‘Aisyah berkata, ‘Biarkan aku sendirian! Aku tidak membutuhkannya dan tidak pula simpatinya.’

Abdullah berkata, ‘Wahai Ibuku! Sesungguhnya Ibnu Abbas adalah salah satu dari orang-orang shalih umat ini, ia ingin mengantarkan kepergianmu dan mengucapkan salam kepadamu.’ Aisyah berkata, ‘Izinkan ia masuk jika kamu menghendaki.’ Ibnu Abbas pun menemuinya dan duduk di hadapannya seraya berkata, “Bergembiralah! Demi Allah tidak ada penghalang di antara anda dan di antara meninggalkan semua penderitaan, dan perjumpaan anda dengan Muhammad dan para kekasih, melainkan ruh yang akan meninggalkan jasad anda.” ‘Aisyah berkata, “Benar wahai Ibnu Abbas!” Ibnu Abbas melanjutkan, “Engkau adalah wanita yang paling dicintai Rasulullah, dan Rasulullah tidaklah menyukai sesuatu, kecuali itu adalah sesuatu yang baik! Pada satu malam di lembah Abwa’ kalungmu terjatuh, dan Rasulullah SAW mencarinya hingga waktu shubuh tiba. Para sahabat ingin shalat shubuh namun mereka tak menemukan air, lalu Allah menurunkan ayat, “Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik.” Ayat ini diturunkan karena anda dan sekaligus sebagai kemudahan (Rukhsah) bagi umat ini.

Allah Ta’ala juga menurunkan dari langit yang ketujuh suatu ayat yang berkenaan dengan pembebasan dirimu (dari tuduhan berzina), kemudian ayat tersebut dibaca pada siang dan malam hari di masjid-masjid yang disebut di dalamnya nama-nama Allah.” Aisyah berkata, “Cukup wahai Ibnu Abbas! Demi Allah andai diriku adalah sesuatu yang dilupakan!”[10]

ã Salim bin Basyar, menuturkan bahwa Abu Hurairah menangis pada saat ia sakit. Ia ditanya tentang apakah gerangan yang menyebabkan dia menangis. Abu Hurairah menjawab, “Ketahuilah! Aku tidak menangis atas dunia ini, akan tetapi aku menangisi apa yang akan terjadi pada diriku setelah perjalanan ini, bekal yang sedikit, dan aku berada pada tempat yang tinggi di antara surga dan neraka. Aku tidak tahu manakah yang lebih dulu menyambarku.”

ã Yazid bin Abi Ziyad berkata, “Suatu saat Abu Juhaifah RA, melewati jenazah Abu Abdirrahman RA, dan berkata, “Ia lega meninggalkan dunia, ia telah dilapangkan (diselamatkan) dari (tipu daya) dunia ini.”[11]

ã Ketika menantikan ajal yang akan datang, Mu’azd bin Jabal RA ia menangis. Ia pun ditanya apakah gerangan yang menyebabkan dia menangis. Mu’azd pun berkata, “Demi Allah! Aku tidak menangis karena takut akan kematian, bukan pula dunia yang akan aku tinggalkan, melainkan aku mendengar Rasulullah SAW telah bersabda, “Ada dua genggaman setelah kematian. Genggaman neraka dan genggaman surga. dan aku tiada mengetahui pada genggaman manakah aku berada.”[12]

ã Abu Ishaq bercerita, “Adalah Abu Subrah jika hendak tidur ia menangis, kemudian berkata, “Kalau sekiranya aku tidak dilahirkan.” Ia pun ditanya, “Mengapa?” ia menjawab, “Karena kami telah dikabari bahwa kami pasti akan mendatangi shirath (jembatan yang digelar di atas neraka), dan kami tidak diberitahu apakah kami bisa melewatinya.”

ã Qais bin Abu Hazim menuturkan bahwa suatu ketika Abdullah bin Rawahah menangis, kemudian istrinya ikut menangis. Ia bertanya kepada istrinya mengapa ia menangis. Sang istri menjawab, “Aku melihat kanda menangis, lalu dinda pun ikut menangis.” Abdullah berkata, “Aku dikabari bahwa aku pasti mendatangi shirath, tetapi tidak diberitahu apakah aku bisa melewatinya.”[13]

ã Al-Hasan al-Basri RAH berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya! Tidaklah sempurna keimanan seorang hamba kepada Hari Kiamat sampai ia menangis, jika tidak bisa menangis pasti akan merasa galau, jika tidak bisa pasti akan sedih, jika tidak bisa juga pasti ia akan merasakan dunia yang luas ini menjadi sempit.”

ã Al-Hasan RA juga berkata, “Barangsiapa yang mengetahui bahwa Kematian itu jalan yang harus dilewatinya, Hari Kiamat adalah waktu yang telah dijanjikan kepadanya, dan Mahsyar adalah tempat pertemuannya, maka hendaklah kesedihannya berkepanjangan.”

ã Muhammad bin Sauqah menuturkan bahwa Ibrahim an-Nakha’I telah berkata, “Jika kami menghadiri prosesi jenazah, atau mendengar ada yang meninggal, maka yang demikian juga akan terjadi pada diri kami suatu hari nanti. Karena kami mengetahui bahwa telah turun pada mayit suatu perintah yang akan menggiringnya ke surga atau neraka. Tetapi kalian sekarang ini sibuk membicarakan dunia ketika menghadiri jenazah.”

ã Zakaria mengisahkan bahwa Ibrahim an-Nakhai menangis pada saat ia sakit (sakit yang mengantarkan kepada kematiannya). Orang-orang pun bertanya, “Wahai Abu Imran! Apakah gerangan yang membuat anda menangis?” ia menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis! Aku sedang menunggu seorang utusan (malaikat pencabut nyawa) dari Rabbku yang akan memberikan aku kabar gembira dengan surga atau neraka.”

ã Yahya bin Bukair menuturkan bahwa dirinya pernah berkata kepada al-Hasan bin Shalih, “Terangkan kapada kami tata cara memandikan jenazah!,” maka ia tidak dapat menjelaskannya karena tak kuasa menahan tangis.

ã Nadhar bin Ismail menuturkan bahwa ia melihat Umar bin Dzar ikut dalam rombongan pengantar jenazah. Ketika mayit di letakkan di tepi kubur Umar menangis. Kemudian ia berkata, “Wahai mayit! Engkau telah beristirahat dari perjalanan duniamu, maka berbahagialah kamu jika kamu bertelekan kebaikan di kuburanmu.”

Adz-Dzahabi berkata tentang dirinya, “Umar bin Dzar termasuk para imam mujtahid.”

ã Waki’ berkata, “Tersebutlah bahwa al-Hasan bin Shalih, saudaranya beserta ibunya membagi waktu malam menjadi tiga bagian, masing-masing dari mereka menghidupkan sepertiga malam sehingga rumah tersebut tidak kosong dari shalat malam. Ketika sang ibu meninggal, keduanya membagi waktu malam setengah-setengah, dan setelah Ali wafat, al-Hasan menghidupkan malam seluruhnya.”

ã Ibrahim bin al-Asy’ats menuturkan bahwa tiada seorang pun yang aku dapati begitu besar pengagungan jiwanya kepada Allah, melainkan Fudhail bin Iyadh. Jika kami keluar mengantar jenazah Fudhail tak henti-hentinya memberi nasihat, berdzikir dan menangis seakan-akan dia memberikan kata-kata perpisahan kepada para sahabatnya dan pergi menuju akhirat. Ketika sampai di pekuburan dia duduk di antara kuburan-kuburan sambil bersedih dan menangis, sampai ia berdiri dan seakan-akan ia baru kembali dari kampung akhirat dengan membawa berita.

ã Muhammad bin Shalih at-Tamâr bercerita, “Dalam beberapa hari Shafwan bin Sulaim[14]mendatangi kuburan al-Baqi’. Dia lewat di hadapanku. Sehingga pada suatu hari aku membuntutinya untuk mengetahui apa yang ia kerjakan di al-Baqi’. Di al-Baqi’ dia menundukkan kepalanya dan duduk pada salah satu makam, lalu di situ dia terus-menerus menangis sehingga aku menyangka bahwa itu adalah salah satu kuburan kerabatnya. Pada kali berikutnya ia kembali lagi ke kuburan Baqi’, maka aku membuntutinya, tetapi ia duduk di tepi kuburan yang lain lagi, ia melakukan seperti yang dilakukan pada kuburan pertama (menangis). Aku menduga bahwa itu adalah makam beberapa kerabatnya, maka kuceritakan kepada Muhammad ibnu al-Munkadir, lalu Muhammad pun berkata, “Mereka yang mati di situ semuanya adalah keluarga dan saudara-saudaranya (seagama). Dia adalah orang yang meluluhkan hatinya dengan mengingat orang-orang mati di saat hati mulai mengeras.”

ã Ubaidullah al-Iyasyi menuturkan bahwa Hisyam ad-Dustiwa’iy apabila kehilangan lentera di rumahnya ia menggeliat-geliat gundah gulana, kemudian datanglah istrinya dengan membawa lentera, dan menanyakan perbuatannya tersebut. Ia pun menjawab, “Ketika aku kehilangan lentera aku teringat akan kegelapan alam kubur.”

ã Ibnu Hibban berkata dalam autobiografi Yahya bin Abi Katsir ath-Tha`i, “Yahya termasuk salah seorang ahli ibadah. Apabila dia telah menghadiri jenazah, maka ia tak akan menyantap makanan sepanjang malam tersebut, dan tak seorang pun yang berbicara dengannya.”

ã Ubaidullah bin al-‘Îzâr menuturkan bahwa dirinya tidaklah ia melihat sosok al-Hasan melainkan terlukis di wajahnya potret kesedihan, seakan-akan dia sedang ditimpa suatu musibah, dan ketika mengingat atau disebutkan tentang akhirat maka kedua matanya berlinangan air mata.

ã Abdusshomad bin Yazid menuturkan bahwa dirinya pernah mendengar Fudhail bin Iyadh berkata, “Suatu malam aku mengawasi anakku Ali yang sedang berada di dalam rumah dan berkata, “Neraka! Kapan seseorang terbebas dari neraka?!” ia melanjutkan, “Wahai ayah! Tanyalah Dzat yang menghadiahi anak untuk ayahanda di dunia, apakah Ia juga akan memberikannya di akhirat kelak.” Kemudian ia terus-menerus meluluhkan hatinya, bersedih sehingga Fudhail menangis, kemudian berkata, “Dia sering membantuku untuk bersedih dan menangis. Wahai buah hatiku! Allah memberkahimu sesuai apa yang Dia ketahui dalam dirimu.”

ã Hafs bin Ghayyats berkata, “Suatu hari kami berada di sisi Umar bin Dzar yang sedang berbicara, menyebutkan kedahsyatan hari kiamat, mulai dari goncangannya sampai kengerian yang terjadi pada hari itu. Kemudian menangislah Ibnu Dzar dan orang-orang pun menangis sangat keras sekali pada hari itu.”

ã Al-Fadl bin Dakin berkata, “Apabila al-Hasan bin Shalih melihat jenazah maka segera air matanya bercucuran.”

ã Mathar al-Warrâq menuturkan bahwa suatu waktu Harim bin Hayyân menangis. Lantas ia ditanya tentang penyebab tangisannya. Ia pun menjawab, “Aku teringat akan suatu malam yang di pagi harinya benda-benda ruang angkasa berjatuhan.”

ã Suatu ketika Amir bin Abdullah al-Anbari menangis. Ia pun ditanya apakah penyebab tangisannya. Ia pun menjawab, “Aku teringat akan suatu malam yang di pagi harinya kiamat terjadi.” Aku berkata, “Sesungguhnya malam itu akan bergoncang karena perkara yang sangat dahsyat.”

ã Abdullah bin Katsir menuturkan bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya, “Apakah yang menyebabkan engkau bertaubat?” ia menjawab, “Aku pernah hendak memukul budakku, kemudian si budak berkata kepadaku, ‘Wahai Umar! Ingatlah pada malam yang pagi harinya kiamat terjadi!.”

ã Al-Junaid bercerita, “Tatkala kami bersama al-Hasan di masjid menangislah ia hingga kedua bahu tergoncang-goncang. Ia berkata, “Kalau sekiranya kehidupan ada di hati, kalau sekiranya ada keshalihan dalam hati, pasti kalian akan menangis terkenang pada malam yang kiamat terjadi keesokan harinya, sesungguhnya malam itu menghantarkan kiamat pada keesokan harinya. Seluruh mahluk tidak pernah mendengar segala aib dan cacat ditampakkan, air mata menangis tiada henti, dari pada apa yang akan mereka alami pada hari kiamat itu.”

ã Al-Marwadzi menuturkan bahwa Imam Ahmad jika mengingat kematian air matanya tak dapat tertahankan. Ia berkata, “Ketakutan menghalangi aku dari makan dan minum. Apabila aku mengenang kematian menjadi hinalah seluruh isi dunia di hadapanku.  Sesungguhnya ingatan tentang kematian itu ibarat makanan, atau pakaian. Sesungguhnya hari-hari di dunia adalah hari-hari yang sedikit tidak sebanding dengan kefakiran, kalau sekiranya aku menemukan suatu jalan niscaya aku akan keluar dari jalan tersebut sehingga aku tidak akan pernah mengenang kematian.”

ã Muhammad bin Abdurrahman al-Asyhali berkata, “Ketika aku melewati pekuburan terdengar olehku suara orang menggerutu, lalu aku mencari sumber suara itu, ternyata Yahya bin Ayub al-Maqabiri sedang menangis di salah satu makam. Ia berkata, “Wahai Allah! kesayangan orang-orang yang taat! Wahai Allah! kesayangan orang-orang yang berbuat maksiat! Bagaimana Engkau tidak menjadi kesayangan orang-orang yang taat, padahal Engkaulah yang telah menganugerahi ketaatan kepada mereka! Dan bagaimana Engkau tidak menjadi kesayangan orang yang berbuat dosa, karena Engkaulah yang telah menutupi dosa-dosa mereka!” Ia terus menangis dan aku pun tak dapat menahan tangis.”

 __________________________________________

[1] Muttafaq ‘Alaih.

[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Bushairi dan al-Albani.

[3] Muttafaq ‘Alaih.

[4] Muttafaq ‘Alaih.

[5] Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

[6] Diriwayatkan oleh Muslim.

[7] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Albani.

[8] Muttafaq ‘Alaih.

[9] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

[10] diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Bukhari.

[11] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah.

[12] Diriwayatkan oleh Thabrani.

[13] Diriwayatkan serta dishahihkan oleh al-Hakim.

[14] Seorang imam terpercaya dan termasuk periwayat dalam kutub as-Sittah.