Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Medinat Timbuktu, sebuah kota Islam bersejarah

Timbuktu adalah kota bersejarah Islam modern di Republik Mali. Letaknya sekitar 20 kilometer sebelah utara dari Sungai Niger.

Akar suku bangsa dari Timbuktu tidak diketahui mendalam. Dokumentasi-dokumentasi kuno menyebutkan leluhurnya mulai melakukan tradisi lokal pada abad ke 17. Mereka menyebutnya Tarikhes Soudan, yang merupakan kelompok nomaden mencakup 1100 orang. Lalu Timbuktu segera menjadi pusat pembelajaran Islam.

Rute Selatan kafilah Sahara menjadi terkenal di seluruh Eropa sebagai pasar budak dan emas.

Pusat Tarikhes Soudan dikelola dengan baik oleh kelompok budak, yang dipimpin seorang wanita tua berjulukan Buktu.

Makna sastra dari frase Tin Buktu adalah ” tempat Buktu”. Hal tersebut megacu pada fungsinya sebagai tempat dimana tenda-tenda akhirnya diubah menjadi pemukiman yang lebih permanen karena lokasi kota yang strategis, yakni di ” persimpangan sungai” dan merupakan jalur transportasi darat para pedagang. Sampai saat ini belum ada penemuan-penemuan arkeologi di situs Timbuktu.

Setelah terbangun pusat kota Timbuktu, pusat perdagangan menjadi tersebar di seluruh wilayah Mali.

Kota ini berada di bawah kendali Kekaisaran Mali antara periode 1325-1433, periode di mana tampak perubahan signifikan di wilayah tersebut .

Matapencaharian di Timbuktu

Banyak peristiwa di Timbuktu, akan kita bicarakan nanti. Yang pasti, Maroko juga pernah menginvasi Timbuktu pada tahun 1591 dan Perancis merebut daerah itu pada 1893 karena komoditas perdagangan yang penting pada saat itu, garam.

Selama di bawah masa pemerintahan Mali, ada peningkatan kemakmuran dan stabilitas politik. Pemerintah terstruktur dengan cara yang terorganisir dengan baik sehingga menimbulkan manfaat perdagangan yang baik. Bangunan-bangunan monumental Timbuktu diperbesar.

Masjid Sankore dan Djinguereber (1327 ) dibangun, dan struktur lama bangunan ini masih berdiri sampai sekarang. Semua ini dibangun pada abad 14.

Ketika kekaisaran Mali runtuh, Timbuktu jatuh di bawah kontrol Berber yang nomaden dalam jangka waktu 32 tahun, antara 1433 dan 1468 dan kemakmuran ekonomi dari kota besar ini pun menurun.

Proses kehancuran diperburuk dengan terjadinya pendudukan kota oleh Sonni Ali, kepala Songhai tahun 1468. Kota ini lantas digabungkan dengan Kekaisaran Songhay. Sumber-sumber sejarah mengatakan ada pertumpahan darah saat penaklukan terjadi.

Sonni Ali meninggal pada tahun 1492 menyusul pemerintahan yang gemilang oleh anaknya. Setelah pemerintahan singkat, pada pemerintahan anak Sonni Ali , Timbuktu menjadi dikendalikan oleh dinasti baru Songhay yaitu Askias.

Pada titik ini, zaman keemasan dicapai sehingga perdagangan serta beasiswa memakmurkan seantero kota.

Dinasti Askias adalah Muslim, dan Timbuktu menjadi pusat pembelajaran Islam di Sub-Sahara Afrika.

Alquran, Hadis , ilmu-ilmu Islam dan Syariah dipelajari di Timbuktu dan diajarkan sampai ke universitas, di berbagai lembaga pembelajaran bagi orang dewasa maupun anak-anak.

Masjid Sankore menjadi pertanda bahwa Al-Quran ditegakkan dan perdagangan yang sesuai syari’at dikembangkan. Emas dan gading diperdagangkan secukupnya untuk barang-barang seperti keramik, tekstil dan manik-manik.

Kisah perdagangan Timbuktu yang berkelimpahan menyebar hingga ke utara dan menarik perhatian orang Maroko yang turut menginvasi wilayah utara.

Oleh karena itu, tahun 1590, tentara dikumpulkan di bawah kepemimpinan Judar Pasha, seorang jenderal militer. Ia menggiring pasukannya mengikuti jalan melintasi padang pasir. Pasukannya mengalahkan tentara Songhay pada pertempuran Tondibi tahun 1591.

Pada saat itu, orang Maroko mengambil alih kota. Banyak sarjana muslim terkemuka diasingkan dari tanah airnya.

Garnisun Maroko di Timbuktu yang tersisa menjadi warisan melegenda. Warga yang tersisa kemudian menjuluki dirinya sebagai Arma, kelompok Songhai yang mengaku keturunan Maroko.

Penaklukan itu begitu parah. Maroko memimpin mereka secara keji dan mengakhiri pemerintahan yang menindas pada tahun 1618.

Pada awal abad ke-19, Timbuktu memasuki periode ketenangan, dan memiliki peran signifikan dalam perspektif historis.

Meskipun dianggap tidak mengalami kemajuan dari segi intelektual dan ekonomi, Eropa masih melihat kota itu sebagai tanah kesempatan.

Berbagai misi dikirim ke Timbuktu dalam upaya untuk memenangkan kota itu. Orang terkenal seperti Robert Adams, Mungo Park mencoba untuk menginvasi kota tersebut. Tak ada yang berhasil.

Namun, itu pada bulan Agustus tahun 1826, seorang Mayor Eropa bernama Alexander Gordon Laing berhasil. Meskipun ia akhirnya dibunuh.

Seorang pelancong lebih beruntung. Ia adalah Prancis Rene Caillie, yang tiba di Timbuktu pada tahun 1828 berpura-pura menjadi orang Arab dengan berpakaian Timur Tengah.

Caillie agak kecewa mendapati Timbuk begitu membosankan dan lamban. Namun, setelah itu beberapa petualang Eropa melakukan perjalanan untuk melihat kota. Dalam perjalanan mereka, didokumentasikanlah informasi tentang perdagangan, pasar, masjid, masyarakat serta apa saja yang diproduksi di Timbuktu.

Setelah dokumentasi tersebut dipatenkan oleh Perancis, informasi tersebut digunakan membantu tentara Perancis merumuskan cara untuk menaklukkan tanah Timbuktu dan membuatnya jatuh ke negara-negara Eropa.

Pasukan Perancis mencapai kota pada bulan Desember 1893, tetapi beberapa dari mereka dibunuh oleh Tuareg. Pendudukan dicapai pada tahun berikutnya dan menyebabkan pemerintahan kolonial Timbuktu berlangsung selama enam puluh tahun.

Setelah enam puluh tahun pemerintahannya, Timbuktu merdeka dan menjadi bagian baru negara Mali yang dibentuk pada tahun 1960.

Sejak saat itu , Timbuktu terus berfungsi sebagai pusat kekuasaan administratif dan rute perdagangannya melayani baik penduduk tetap maupun yang sekadar singgah dari daerah lain.

Kini banyak wisatawan Eropa dan Amerika melancong kesana. Mereka takjub akan peninggalan sejarahnya yang menawan. Subhanalloh.

(adibahasan/arrahmah.com)

Disarikan dari tulisan Sadiq Salawudeen* pada onislam.net.

*Salawudeen adalah Wartawan & Penulis, dia adalah lulusan dari Universitas Amerika di Kairo. Dia adalah seorang advokat perdamaian dan suka menulis tentang orang-orang, perdamaian dan masyarakat.