Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Memaafkan Menambah Kemuliaan

Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Menjadi pemaaf bukti bahwa seseorang itu berhati lembut, lapang dada, sabar, dermawan, dan mulia. Sehingga sifat pemaaf ini akan menjadikan pemiliknya sebagai manusia mulia di hadapan Allah dan manusia.

Diakui, sebagian orang menganggap memaafkan itu tanda tak berani dan tak bedaya. Membusungkan dada, berteriak keras, matra melotot, marah-marah, dan membalas keburukan dengan tindakan lebih galak dianggap pemberani dan kuat. Sehingga mereka menilai, memaafkan menjadikan hina dan disepelekan. Ini bagian dari tazyin syetan terhadap perbuatan buruk.

Nash syar’i secara gamblang menjelaskan bahwa memaafkan akan mengangkat derajat pemiliknya dan menjadikannya mulia.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

"Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya." (HR. Muslim)

Memang benar, saat kita hendak meaafkan maka jiwa ini akan berkata “kamu menghinakan diri dihadapan orang yang menyakitimu.” Ini merupakan tipuan nafsu amarah yang selalu memerintahkan berbuat buruk dan menghalangi dari berbuat baik. Padahal Allah akan membalas maaf kita tersebut dengan kemuliaan dan meninggikan derajat kita di dunia dan akhirat.

Perhatikan hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengabarkan bahwa siapa yang memaafkan maka Allah menambahkkan kemuliaan kepadanya dengan maafnya tersebut. Maka pantaskah setelah ini orang beranggapan memaafkan itu menghancurkan kehormatan dan merendahkan martabat.

Memaafkan dan mengampuni kesalahan adalah akhlak Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Tidak mungkin orang yang mengikuti akhlak ini akan menjadi hina. Tidak mau mengalah dan suka membalas kesalahan kawan bukanlah akhlak Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

    . . . siapa yang memaafkan maka Allah menambahkkan kemuliaan kepadanya dengan maafnya tersebut. . .

Aisyah Radhiyallahu 'Anha ditanya tentang akhlak suaminya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَلَا صَخَّابًا فِي الْأَسْوَاقِ وَلَا يَجْزِي بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَصْفَحُ

“Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam itu orang yang perkataannya keji ataupun orang yang berusaha berkata keji, tidak berteriak-teriak di pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa; tetapi beliau memaafkan dan mengampuni kesalahan.” (HR. Ahmad dan Al-Tirmidzi)

Allah telah mengisahkan dalam Al-Qur'an tentang Nabi-Nya, Yusuf ‘alaihis salam. Saudara-saudaranya telah menyakiti dan mezaliminya. Namun saat Yusuf berkuasa dan kaya raya, sementara saudara-saudaranya datang kepadanya meminta bantuan, Yusuf tidak membalas keburukan mereka dahulu dengan balasan serupa. Yusuf memaafkan mereka, “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang." (QS. Yusuf: 92)

Sedangkan orang yang paling layak mendapatkan maaf dari kita adalah mereka yang paling sering bersama dengan kita sehingga sering berpeluang berbuat salah terhadap kita, yaitu istri, anak-anak, pembantu rumah tangga, karyawan, dan lainnya. Terlebih lagi mereka adalah orang-orang yang lemah dihadapan kita. Karenanya Allah menjelaskan kepada kita bahwa sebagian istri dan anak menjadi ujian bagi kita, bahkan disebutkan menjadi musuh.


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Taghabun: 14)

Biasanya, seseorang bersikap tegas dan keras kepada istri dan anak-anaknya. Apabila mendapati kesalahan atau perilaku yang menyakitkan hati maka marahnya menjadi-jadi, sulit memaafka n dan mengampuni kesalahan. Tindakan tersebut termasuk perilaku yang buruk dan bisa menyebabkan kemudharatan atas yang lainnya. Karenanya, perlu arahan khusus agar suami dan kepada keluarga itu berlapang dada dan memaafkan sehingga ia berhak mendapat amapunan dan maaf dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Berkaitan dengan pembantu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang mereka, “Berapa kali kami bisa memaafkan pembantu? Maka beliau diam. Diulangi pertanyaan tersebut, dan beliau masih diam. Saat disampaikan ketiga kalinya, maka beliau bersabda: maafkan ia 70 kali setiap hari.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al-Albani)

Subhanallah, begitu mulianya akhlak Islam ini. Saat emosi karena disakiti, tetap dianjurkan untuk menunjukkan akhlak mulia. Tidak membalas serupa apalagi berlebih. Tapi diajurkan berlapang dada, memaafkan, dan mengampuni kesalahan. Wallahu Ta’ala A’lam.

voa-islam.com