Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Ketika Anak Tak Mau Mendengar Kata-Kata Ibunya

Bunda Shalihah,

“Bagaimana sih caranya membuat anakku itu mau mendengarkan kata-kata ibunya sendiri? Pamorku kalah dengan gurunya di sekolah, padahal kan aku juga guru loh.”

Seorang teman pernah curhat pada saya tentang hal di atas. Sebagai seorang ibu, dia merasa anaknya tidak begitu mempedulikan omongannya. Apapun itu, selalu dibandingkan dengan kata-kata gurunya di sekolah.

Bila ada ketidaksesuaian, maka kata-kata gurunya selalu yang utama yang akan dia dengar dan turuti. Begitupun bila yang dikatakan ibunya dengan guru di sekolah sama, maka ia tetap menganggap bahwa gurunya pintar karena ibunya pun bisa memunyai pendapat sama seperti si guru.

Sikap ini walhasil sedikit mengkhawatirkan. Ibu sebagai pendidik pertama dan utama kehilangan pamornya di hadapan anak. Ada yang salah pada interaksi anak dan ibu di sini. Orang pertama yang dipercaya anak, seharusnya adalah ibu. Guru, meskipun merupakan pengganti orang tua di sekolah, tetap saja orang lain dan sosok kesekian yang ditemui anak dalam kehidupannya. Katakanlah pada usia 5 tahun, si anak mulai masuk TK dan mengenal sosok guru. Lalu, usia 0-5 tahun sebelumnya, siapa yang menjadi panutan bagi si anak tersebut?

Usut punya usut, ternyata hanya berselang sekitar dua bulan saja dari kelahirannya, si anak diserahkan pada neneknya karena ibunya harus mengajar. Untuk menyewa baby sitter juga tak mampu. Melepaskan kariernya sebagai guru juga sayang karena sudah susah payah ia kuliah demi profesi ini. Walhasil, solusinya ya berjauhan beda kota dengan si anak. Di usia dua tahun, si nenek meninggal dunia. Hal ini membuat si cucu limbung.

Pola asuh nenek dan ibu kandung yang tak sama, membuatnya harus beradaptasi dari awal lagi. Adaptasi ini tak sepenuhnya berhasil ketika di usia 5 tahun ia masih melakukan pembangkangan dan tak mau mendengar kata ibunya. Merunut ke belakang, si nenek seringkali membela si cucu ketika ibunya melakukan pola asuh menurut caranya. Si cucu akan berlari ke nenek dan mendapat perlindungan penuh, bahkan menyaksikan ibunya dimarahi oleh si nenek karena memarahi dirinya. Kondisi ini sedikit banyak memperngaruhi psikis si anak untuk berani tidak hormat pada ibu kandungnya sendiri.

Si ibu kandung ternyata juga kurang memahami pola asuh yang baik pada si anak. Ia dengan mudah mencubit anaknya dengan keras sehingga si anak pun menangis dengan kencang tak peduli itu di depan orang banyak. Membentak dan memberi label ‘nakal’ pada anak semakin memperburuk keadaan. Menurutnya, itu adalah proses pendisiplinan yang perlu diterapkan pada si anak. Bila tidak begitu, maka si anak akan makin nakal.

Bunda shalihah, ilustrasi di atas sungguh tak ideal. Tapi bukan tak mungkin ada di antara kita yang pernah mengalami hal tersebut, bukan? Jangan biarkan kondisi ini berlarut-larut. Senyampang anak masih dalam tahapan usia pertumbuhan, bunda harus segera mau berbenah. Yang utama dulu harus ada adalah introspeksi. Si anak adalah tanggung jawab orang tua yaitu ibu dan bapaknya, bukan kakek dan neneknya. Ketika seseorang sudah berani menikah, itu artinya ia harus berani pula menerima kondisi yang menyertai yaitu anak dan segala kerepotannya.

Tidak bijak menyerahkan pengasuhan dan pendidikan anak pada nenek dan kakeknya. Memang sih, ada kalanya nenek dan kakek ini yang meminta sendiri agar si cucu tinggal bersama mereka. Di sini, ketegasan bunda sebagai ibunya dan suami sebagai ayah si anak sangat diperlukan. Harus ada prioritas dalam hidup, begitu juga dalam berumahtangga. Percayalah, hasil dari bunda bekerja di luar rumah tak sepadan dengan ongkos untuk ‘mereparasi’ anak yang salah asuh. Bijaklah dalam bersikap dan mengambil keputusan.

(riafariana/voa-islam.com)