Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Imam Abu Hanifah, Ulama Cerdas dan Dermawan

Umumnya, seorang ulama hanya piawai di dalam bidang keilmuan agama (Islam). Dia kurang begitu mahir dalam soal berdagang. Dan biasanya, seorang pedagang pun hanya ahli di bidang perdagangan. Memang, yang memiliki keahlian seimbang antara ilmu agama dan bisnis tergolong langka.

Imam Abu Hanifah adalah salah satu dari yang langka itu. Ulama besar yang merupakan salah satu dari empat tokoh mazhab itu ternyata pernah menggeluti dunia wirausaha dalam sejarah hidupnya. Maka, dapat dikatakan, pemilik nama asli Nukman bin Tsabit itu adalah seorang pedagang sekaligus seorang ulama, atau ulama sekaligus pedagang.

Ulama yang dilahirkan di kampung Anbar, Kuffah, Irak, pada 80 H atau 699 M itu, bisa berdagang karena lingkungan keluarganya adalah pedagang. Sejak kecil beliau digembleng oleh keluarganya untuk berdagang. Baginya, pulang dan pergi ke pasar merupakan suatu hal yang biasa. Kadang, beliau juga ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera. Hal itu dilakukannya untuk membiayai kehidupan keluarga. Ini berbeda dengan ketiga imam fikih lainnya yaitu Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad yang memulai menimba ilmu sejak usia dini.

Kesibukan berbisnis tak memupus semangatnya untuk menimba ilmu dan beribadah. Beliau mengelola waktu yang dianugerahkan Allah dengan sebaik-baiknya. Caranya, waktu malam beliau gunakan untuk beribadah. Sepanjang waktu antara Isya dan waktu sahur, beliau isi dengan shalat dan munajat. Tidurnya hanya sebentar, yaitu di antara waktu Zuhur dan Ashar. Selepas shalat Subuh, beliau mengkaji berbagai ilmu. Setelah itu, pada waktu siangnya, beliau menjalankan berbagai transaksi yang menguntungkan sesuai dengan syariah.

Keluarga dekatnya menyaksikan bahwa segala aktivitasnya, terutama ibadah malamnya,dilakukan selama kurang lebih40 tahun. Surah yang hampir selalu beliau baca pada shalat malamnya adalah Surah Al-Qamar. Hing ga pada ayat ke-46 yang artinya,”Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan ke pada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit,” beliau pun menangis.

Tangisnya hadir karena adanya ketakutan akan pengadilan Allah pada hari akhir, antara lain tentang hartanya. Karena itu, beliau sangat berhati-hati dengan hartanya. Suatu ketika, ia menghadiahkan kepada seorang temannya sehelai baju yang di salah satu bagiannya ada sedikit cacat. Beliau mewanti-wanti temannya, kalau suatu waktu baju itu akan dijual agar cacat di baju itu diberitahukan kepada si pembeli.

Karena sesuatu hal, teman Abu Hanifah itu menjual baju tersebut. Namun, ia lupa memberitahukan mengenai cacat yang terdapat pada baju tersebut. Maka, Abu Hanifah pun menanyakan siapa pembelinya,tetapi temannya lupa akan ciri-ciri pembeli baju itu.

Abu Hanifah yang ramah dan tampan itu memang dikenal orang-orang di sekitar beliau sebagai orang yang gemar bersedekah. Dalam bersedekah, sepertinya beliau punya rumus yaitu, sejumlah uang dinar yang beliau belanjakan untuk keperluan keluarga, sejumlah itu pula yang akan beliau sedekahkan.

Selain dermawan, Abu Hani fah juga dikenal sebagai seorang yang cerdas dengan argumentasinya yang kuat. Sebab, beliau berguru kepada kurang lebih 200 orang guru, termasuk para sahabat dan tabiin. Ada yang meriwayatkan, Abu Ha nifah pernah bertemu dengan tujuh sahabat Nabi Saw., antara lain, Anas bin Malik, Abdullah Az-Zubairi, dan Amru bin Haris.

Tentang kecerdasan Imam Abu Hanifah, Imam Malik menya takan,” Seandainya dia mengatakan bahwa tanah di tanganmu itu emas, maka engkau akan membenarkannya karena alasannya yang kuat dan kamu akan mengikuti pernyataannya.”

Dalam buku ‘Mereka adalah Para Tabiin’ karya Dr. Abdurahman Raat Basya, diceritakan tentang berbagai bukti kecerdasan ulama yang mati syahid di penjara pada usia 70 tahun itu . Antara lain, tentang adanya seorang laki-laki terpandang, warga Kufah, yang menuduh di hadapan orang bahwa Ustman bin Affan adalah seorang Yahudi, yang jadi Yahudi lagi setelah Islamnya.Abu Hanifah mendatangi lelaki itu dengan mengatakan bahwa dirinya ingin meminang putri lelaki itu untuk sa habatnya. Karena Abu Hanifah dikenal orang baik, kehadirannya di sambut baik. Ketika lelaki itu bertanya tentang siapa peminang itu, Abu Hanifah menjawab bahwa peminang itu adalah seorang yang terkemuka, kaya, dermawan, hafal Al-Quran, dan rajin beribadah hingga larut malam.

Lelaki itu bahagia karena calon peminang putrinya adalah orang baik. Tapi, kemudian ia terperanjat, ketika Abu Hanifah menyatakan, bahwa ada satu hal yang perlu dipertimbangkan karena yang ingin meminang itu seorang Yahudi. “Apakah Anda ingin, saya menikahkan dengan seorang Yahudi, wahai Abu Hanifah? Demi Allah, aku tidak akan menikahkan putriku dengannya, walaupun dia memiliki segalanya,”kata lelaki itu.

”Engkau menolak menikahkan putrimu dengan seorang Yahudi dan engkau mengingkarinya dengan keras. Tapi, engkau sebarkan berita kepada orang-orang bahwa Rasulullah Saw. telah menikahkan kedua putrinya dengan Yahudi. Yakni, Ustman bin Affan?” kata Abu Hanifah. Lelaki itu tak berkutik kemudian ia beristighfar.

sumber: Majalah Baznas edisi April-Mei 2014 / Muslimdaily.net