Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Sejarah Puasa Ramadhan

Sudah biasa para penceramah menyampaikan materi kewajiban dan kemulian bulan Ramadhan dalam tema-tema kajian kultum Ramadhan. Tapi baru sekali ini, penulis mendengar kultum Ramadhan yang bercerita tentang sejarah disyariatkannya puasa Ramadhan.

Dalam ceramah Ramadhan-nya, sang penceramah terlebih dahulu memberi pengantar tentang dasar dimulainya puasa Ramadhan, yaitu karena melihat hilal, sebagaimana perkataan Rasul SAW, “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081).

Selanjutnya, ia menerangkan perihal sejarah disyariatkannya puasa Ramadhan hingga sekarang ini menjadi salah satu kewajiban sekaligus Rukun Islam bagi umat Islam. Awal turunnya kewajiban puasa Ramadhan berkisar pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah. Atas dasar ini para ulama ber-ijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali.

Menurut sang penceramah, model puasa Ramadhan tidak serta merta seperti model puasa hari ini dimana kita dilarang makan-minum dan lain-lain dari terbit fajar hingga tenggelam matahari. Sebelum turun perintah syariat puasa model seperti itu, yaitu selama bulan Ramadhan (antara 29-30 hari) dengan menahan dari sesuatu yang membatalkan selama siang hari dari sejak fajar hingga maghrib, puasa yang dilakukan para sahabat bukanlah sebuah kewajiban fardhu ‘ain, namun semacam pilihan kewajiban diantara dua pilihan.

Zaman Nabi dahulu, umat Islam diminta untuk memilih antara berpuasa atau membayar fidyah. Pada saat syariat ini, para pemeluk Islam yang merasa kaya dan memiliki harta yang berlebih, lebih memilih untuk melakukan fidyah. Fidyah adalah memberi makan kepada orang miskin / fakir sebanyak satu mud. Satu mud adalah makanan pokok setempat untuk satu hari.

”Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan ash-shaum maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian melakukan shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” [Surat Al-Baqarah 184]

Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir: “Adapun orang yang sehat dan mukim (tidak musafir-pen) serta mampu menjalankan ash-shaum diberikan pilihan antara menunaikan ash-shaum atau membayar fidyah. Jika mau maka dia ber-shaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.”([3])

Ibnu ‘Umar ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan : “bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya-pen)”.([4])

Dan atsar dari Salamah ibnu Al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata: “Barangsiapa hendak ber-shaum maka silakan ber-shaum dan jika tidak maka silakan berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian turunlah ayat yang berikutnya yang me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.” ([5])

Oleh sang penceramah itu, singkatnya disebutkan bahwa masa ini disebut dengan masa pilihan/takhyir. Disebut pilihan karena kalau memiliki uang, sahabat boleh untuk memilih fidyah daripada harus berpuasa.

Setelah itu, masa setelah itu berganti menjadi masa mutlak. Yaitu, semua sahabat (umat Islam ketika itu) harus berpuasa semuanya dan tidak boleh ada yang membayar fidyah. Hal itu pun membuat orang kaya agak khawatir karena mereka mau tidak mau harus berpuasa. Nah, inilah sejarah lengkapnya:

“Dahulu Shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka puasa (shaum) kemudian tertidur sebelum dia ber-ifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi…”

Oleh sang penceramah diceritakan, jika pada saat puasa tidak boleh tidur atau tertidur. Jika tertidur atau tidur, resikonya mereka harus berpuasa selama 24 jam. Dalam sebuah kejadian, Umar diceritakan -masih oleh sang penceramah- tertidur pulas karena kecapekan di ranjang kamarnya. Seketika terbangun dari tidur hingga terjaga, ia baru tersadar bahwa dirinya telah tertidur.

Oleh karenanya, pada malamnya ia tidak boleh berbuka. Pada saat yang bersamaan, ia melihat pakaian istrinya yang tertidur di sisinya tersingkap. Muncullah hasrat Umar untuk berhubungan suami istri dengan istrinya. Singkat cerita, Umar pun mendatangi istrinya dan menunaikan hajatnya. Setelah selesai melakukan hajatnya, Umar pun merasa bersalah pada dirinya kenapa ia tidak kuat untuk menahan keinginannya itu.

Menurut sang penceramah, sahabat Umar RA diceritakan tidak bisa tidur selama 2 – 3 hari setelah kejadian itu. Pada suatu kesempatan setelah shalat subuh berjamaah, para sahabat menghadiri majelis ilmu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Di sinilah, Umar memberanikan diri untuk bertanya yang kurang lebihnya, “Wahai Nabi, apakah peraturan puasamu ini harus dilakukan seperti sekarang ini? Aku mengkhawatirkan umatmu yang hidup nanti setelah kita meninggal dunia, apakah mereka bakal kuat untuk menunaikan puasa yang seperti ini. Aku saja kemaren lusa tidak mampu menahan untuk berhubungan dengan istriku. Lantas bagaimana mungkin umatmu nanti bisa melakukannya?”

Singkatnya, setelah kejadian itu, turunlah ayat Al Quran,

(أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ)

“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk ber-jima’ (menggauli) istri-istri kalian.”

Para shahabat pun semakin berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu:


(وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ)

“Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”

Maka setelah itu, syariat puasa dan aturan-aturan puasa Ramadhan berlaku seperti yang kita rasakan saat ini. Demikianlah penuturan sang penceramah yang penulis dengarkan saat mengisi ceramah di sebuah mushala sebuah perusahaan di Menteng, Jakarta. Semoga dapat memberi info yang bermanfaat. Namun demikian, penulis tidak mengetahui derajat keshahihan / kebenaran asbabun nuzul (sebab turun) sejarah puasa Ramadhan tersebut.

**

Pada keterangan lain (bukan oleh pak ustadz) di dalam suatu hadis disebutkan sebagai berikut:

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ – وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ :  )أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ( فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ )وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ- رواه البخاري  وأبو داود

Artinya: “Dahulu Shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka shaum kemudian tertidur sebelum dia ber-ifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al Anshory dalam keadaan shaum, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan berkata: apakah kamu punya makanan? Istrinya menjawab: “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan).” – dan Qois pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : ”Rugilah Engkau (yakni tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka- pen) !” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah ayat:


(أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ)

“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk ber-jima’ (menggauli) istri-istri kalian.”

dan para shahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :

(وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ)

“Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud)

[Zulfikri/Muslimdaily.net]