Copyright © www.aldakwah.org 2023. All Rights Reserved.

Get Adobe Flash player
Anda dapat membaca Artikel serta kajian yang disediakan oleh kami
Anda dapat mengetahui berita islam terkini baik berita lokal maupun Internasional
Anda dapat mengakses murottal Al-Quran beserta terjemahannya ke berbagai bahasa
Anda dapat mengakses kajian audio yang kami terbitkan
Anda dapat berinfaq serta besedekah melalui perantara kami
Anda dapat memesan produk kami secara online

Sikap Seorang Muslim Terhadap Tahta dan Harta

Oleh : Radin Pendriya

Hari ini banyak di antara kita berlomba-lomba mengejar jabatan maupun harta. Rela menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal demi memperoleh harta yang berlimpah. Rela menghabiskan uang demi menduduki kursi DPR. Senang jikalau bisa menyombongkan itu semua pada orang banyak. Tahta dan harta seolah-olah adalah tujuan hidupnya agar bahagia. Tapi bagaimana sebenarnya seorang muslim bersikap terhadap tahta dan harta? Mari kita belajar dari kehidupan Sahabat Nabi yang satu ini, Abdurrahman bin Auf dan Muhammad Al-Fatih.

Abdurrahman bin Auf adalah seorang konglomerat yang sangat kaya di kalangan bangsa arab. Suatu hari beliau datang kepada Ummu Salamah, istri nabi dan mengeluh “Wahai bunda, saya ini sangat kaya, saya takut kekayaan ini menghancurkan saya maka bagaimana ini?” Masya Allah! Bukan kemiskinan yang dikeluhkannya melainkan keadaannya yang sangat kaya. Di saat banyak orang berlomba-lomba menjadi orang yang kaya raya, ternyata ada orang yang ketakutan ketika dirinya telah mencapainya. Beliau takut atas kekayaannya karena paham bahwa itu semua akan dipertanggungjawabkannya kelak di akhirat.

Suatu hari khalifah kaum muslimin, Ustman bin Affan mulai terlihat sakit-sakitan karena memang usianya yang sudah tua. Saat itu ada orang yang sepertinya melihat beliau mimisan. “Ustman, tidakkah engkau menuliskan wasiat siapa pengganti setelahmu” tanya orang tersebut karena melihat kondisi Ustman yang sudah tua dan sakit-sakitan. Lalu Ustman pun menulis sebuah surat wasiat pengganti setelahnya. Orang ini sepertinya tahu bahwa yang ditulis oleh Ustman adalah Abdurrahman bin Auf. Ia lalu bersegera mencari Abdurrahman bin Auf. “Kabar gembira buatmu Abdurrahman bin Auf bahwa pengganti setelah Ustman adalah engkau” berkata orang tersebut kepada Abdurrahman bin Auf.

Tapi bagaimana sikap Abdurrahman bin Auf? Beliau berdoa “Ya Allah kalau memang benar apa yang tertulis di wasiat tersebut bahwa pengganti setelah Ustman adalah aku maka wafatkan aku sebelum Ustman wafat” Masya Allah! Hari ini di mana ada orang yang ditawari menjadi anggota DPR, Menteri bahkan Presiden malah berdoa lebih baik mati daripada menerima jabatan tersebut. Ternyata benar, beliau meninggal hanya beberapa bulan setelah doa yang dipanjatkannya. Baginya jabatan adalah amanah berat karena akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat kepada Penciptanya.

Kali ini adalah kisah pahlawan muslim penakluk Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih. Beliau adalah anak dari Sultan kekhalifahan Turki Ustmani, Murad II. Muhammad Al-Fatih telah hafal Quran semenjak usia 7 tahun. Bahkan di usianya yang baru beberapa belas tahun beliau sudah menguasai 8 bahasa. Pada usia 14 tahun sempat diuji coba menjadi walikota dan usia 19 tahun beliau menjadi Sultan.

Semenjak kecil beliau sudah terobsesi untuk menjadi orang yang disebutkan dalam hadist nabi bahwa akan ada sebaik-baik pemimpin yang akan menaklukkan Konstantinopel. Nabi Muhammad SAW bersabda ”Konstantinopel akan jatuh di tangan seorang pemimpin yang sebaik-baik pemimpin, tentaranya sebaik-baik tentara, dan rakyatnya sebaik-baik rakyat.” Konstantinopel adalah sebuah kota terkuat di zaman itu di mana tidak pernah ditembus oleh pasukan apapun. Berkat usaha kerasnya dan tak lupa sealu bertawakkal pada Allah maka pada usia 21 tahun beliau berhasil menaklukkan Konstantiopel. Namanya pun begitu dikenal di sentero dunia bahkan hingga kini namanya masih harum di mata dunia. Kini tentu banyak orang yang menyanjung dan memuji-muji beliau. Betapa tidak, beliau bukan cuma seorang sultan tapi seorang penakluk Konstantinopel. Ketika kejayaan, popularitas dan banyak hal berhasil diraihnya maka ada suatu kalimat yang sangat mencengangkan keluar dari mulutnya. Beliau pergi menghadap dan meminta nasihat kepada gurunya “Wahai guru, bagaimana kalau aku turun dari kursi pemerintahan agar aku bisa khusyu’ beribadah kepada Allah?” Subhanallah! Beliau masih sangat muda dan kenikmatan dunia terbentang di matanya. Coba kita lihat, hari ini dimana ada orang yang ketika memperoleh tahta dan prestasi pada puncaknya malah ingin membuang itu semua demi khusyu’ beribadah kepada Allah?.

Harusnya kita sadar bahwa beginilah seharusnya seorang muslim bersikap terhadap harta maupun tahta. Bukannya malah berimpian tinggi mencapai sesuatu agar kelak bisa menyombongkan apa yang sudah diraihnya kepada orang banyak. Kisah Abdurrahman bin Auf dan Muhammad Al-Fatih menjadi pelajaran mahal buat kita semua bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap terhadap tahta dan harta.

dakwatuna.com